Taksu, Catur Sanak dan Batara Hyang Guru.
~ Kabligbagang antuk Sugi Lanus
Dalam kesenian Bali kata 'taksu' adalah pembendaharaan kata yang sangat
penting, sekaligus bisa mengundang berbagai interpretasi. Namun tidak banyak
yang melihat konteks teologi kata 'taksu'.
Kata ”taksu” dikatakan berasal dari kata Sanskrit ”aksi” artinya melihat.
Kemampuan seseorang melihat dengan mata batin dan penuh perhatian, menembus
sampai ke ujung makna terdalam, itulah yang disebut mataksu.
Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa taksu berasal dari kata Sanskrit
"taksh" yang artinya mencipta dan menemukan (create and invent).
Seseorang yang punya kekuatan untuk 'menemukan' atau 'mencipta' dan juga
menunjukan orisinalitas dirinya itulah disebut 'metaksu'.
Dalam konteks teologi Bali sangat jelas posisi kata 'taksu'. Batara Taksu
adalah gelar Batara (Dewa Siwa). 'Aksi' atau 'taks': 'Melihat' dan 'mencipta'
adalah sifat Keilahian. Secara turun-temurun orang Bali, walaupun banyak
yang tidak sadar, menyebut dan memuja Hyang Siwa sebagai Batara Taksu, yang
pelinggih atau altarnya ada disetiap Sanggah/Mrajan keluarga orang Bali.
Kemulan Taksu sebagai pemujaan Batara Siwa
Di hulu halaman (Ulun Karang) setiap rumah tinggal umat Hindu di Bali
terdapat tempat pemujaan yang disebut Merajan/Sanggah Kemulan. Salah satu
pelinggihnya disebut Taksu. Kamulan posisinya di deret timur dari areal
Merajan. Sebutan lain untuk Kemulan Taksu adalah Pelinggih Batara Hyang Guru.
Keberadaan Pelinggih Taksu dan Kemulan berkaitan erat dengan kepercayaan
terdalam Hindu yaitu Atma (ruh suci).
Disebutkan dalam Lontar Purwa Bhumi Kamulan, bahwa Atman yang telah
mencapai tingkat Dewa Pitara atau Siddha Devata distanakan di Pelinggih
Kamulan. Lontar lain yaitu Lontar Gayatri mengatakan manusia yang meninggal
ruhnya sebut Preta, setelah diaben menjadi Pitara, lewat proses Atma Wedana
menjadi Dewa Pitara.
Lontar Siwa Tattwa Purana sangat detail menyangkut upacara Ngaben.
Disebutkan ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya
upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah sang
ruh disucikan menjadi Dewa Pitara masih ada proses lanjutan berupa upacara
yang disebut Dewa Pitra Pratistha, atau umumnya disebut upacara Nuntun Dewa
Hyang. Tahap ini juga kadang disebut Upakara Ngalinggihan Dewa Hyang di
Pelinggih Kamulan. Karena Dewa Hyang atau Atma dituntun terakhir ke Pelinggih
Kamulan maka Pelinggih Kamulan dalam berbagai literatur lontar disebut
sebagai stana Sang Hyang Atma.
Lontar Angastya Prana menceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam
kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah sembilan bulan lebih
jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang
bayi itu lahir ke dunia. Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia.
Jabang bayi takut karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan
dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada
banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita.
Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu
takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu
mengatasi segala derita.
"Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu
yang disebut Catur Sanak," sabda Batara Siwa. Catur Sanak itu adalah
ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang
melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan
ibunya.
Lanjut kisah Lontar Angastya Prana, sang jabang bayi bersedia minta
tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang
Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh
lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang
jabang bayi lahir ke dunia.
Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya
mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara
keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak
berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat
dewasa, tua dan sampai meninggal.
Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi
kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan
upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras
catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara
distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih
Taksu.
Sebuah versi mengatakan bahwa ke empat Catur Sanak adalah perwujudan Dewa
Siwa sendiri. Keberadaan ajaran Catur Sanak sendiri tidak terpisahkan dengan
ajaran Siwaistik yaitu Panca Kausika. Karena itulah Palinggih Taksu tidak
bedanya dengan Palinggih Hyang Siwa.
Taksu dalam teks dan konteks di atas adalah kisah penciptaan dan kembali
ke alam asal (alam kematian). Taksu atau Sang Pencipta atau Sang Muasal
adalah Batara Siwa yang di dunia dan kehidupan sehari-hari kita puja sebagai
Batara Hyang Guru atau Taksu. Beliau berkedudukan sebagai guru niskala dan
pembimbing kehidupan batiniah orang Bali sekaligus penuntun dalam menjalani
kehidupan di dunia.
Wana Parwa 27.214 menjelaskan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari
lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat
pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah untuk menstanakan
Atman kembali ke muasalnya sebagai Batara Hyang Guru.
Hari Raya Pagerwesi, yang merupakan salah satu hari raya penting di
Buleleng, adalah perayaan Batara Taksu atau Hyang Paramesti Guru. Lontar
Sundarigama menyebutkan: "Budha Kliwon Sinta Ngaran Pagerwesi payogan
Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken
sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh." Artinya: Rabu Kliwon
Sinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang
diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala
yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Kemulan Taksu adalah sebuah pusat batiniah dalam sebuah keluarga Hindu di
Bali. Kemulan Taksu adalah sarana pemujaan terhadap Hyang Siwa (Tuhan Yang
Tunggal) sebagai pelindung dan sekaligus guru batin. Hyang Siwa dalam puja
sehari-hari disebut Batara Hyang Paramesti Guru atau juga Batara Taksu.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar