ASPEK
TEOLOGIS TANAMAN PEKARANGAN RUMAH
disusun oleh
I Nyoman Suka Ardiyasa, M.Fil.H
Konsep Natah, Tebe dan Telajakan
Sudah
sejak dahulu kala, keindahan alam Bali dipuja dan dipuji oleh para leluhur, Keindahan
alam yang ada di pulau Bali tidak terlepas pada penduduknya yang memiliki
kesadaran dan kreativitas tinggi untuk menjadikan potensi alam yang dimilikinya
menjadi sebuah tempat yang memanjakan para pengunjung yang datang ke Bali. Banyak
hal yang membuat pulau Bali menjadi unik, baik dari keindahan alam, tradisi
hingga pada budayanya yang khas antara akulturasi agama Hindu dan budaya Bali.
Dalam aspek pelestarian lingkungan masyarakat Bali meyakini bahwa berbagai
tumbuhan perlu dilestarikan karena hal ini berkaitan dengan proses pelaksanaan
upacara agama yng diaktualisasikan melalui pelaksanaan Tumpek Wariga. Dalam tradisi
Bali juga mengenal dengan adanya Tēbe
(telajakan pekarangan yang ada dibelakang rumah), Natah (taman yang ada di lingkungan rumah) serta telajakan atau sebagian jalan raya atau
jalan kampung yang ada di depan atau samping pekarangan rumah, termasuk
jalannya sendiri, got beserta senderan dan lain-lainnya. Dalam semua aspek
tersebut pengmbagian istilah istilah tersebut sudah diatur berdasarkan aturan
aturan yang ada yang mengedepankan sistem fungsional, estetika.
Konsep
natah (taman yang ada dilingkungan
rumah) tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi, sehingga berbagai
tanaman yang ditanam dalam Telajakan
atau Natah memiliki berbagai filosofi
tersendiri. Misalnya tanaman yang ditanam di pintu masuk rumah, di sebelah
kanan baru masuk pekarangan sebaiknya ditanami tanaman (Pachycereus Sp),
sedangkan di sebelah kiri ditanami tanaman dapdap
wong (Erytherina variegata) yang diyakini dapat melawan maksud-maksud tidak
baik. Setelah memasuki pintu masuk, di sebelahnya ditanami bergu/ weregu (Rhapis exelsa) yang diyakini mampu menghancurkan
kekuatan negatif yang lebih kuat, sedangkan dekat dapur ditanami kelor (Moringaoleivera L) sebagai
penangkal kejahatan terakhir di pekarangan rumah. Di pintu masuk Utama Mandala (merajan, sanggah) ditanami jepun
petak (putih) dan sudamala
(Plumeria rubra), yang mempunyai makna filosofi membersihkan dan memarisudha semua orang yang akan
memasuki areal suci tersebut, serta kayu
tulak dan kayu sisih (Phillantus
boxipolius Muell Arg) yang diyakini mampu menolak dan menyisihkan segala
pikiran yang baik dan yang buruk. Hanya orang yang berpikiran baik saja yang
boleh masuk ke halaman Utama Mandala.
Di bagian dalam Utama Mandala
ditanami salah satu di antaranya adalah nagasari
(Mesua ferica L) adalah tanaman yang auranya paling putih bersih dan dingin,
sehingga dianggap sebagai tanaman kesayangan para Dewi. Nagasari berarti Naga
Anantaboga dan Basukih yang mengikat
“sahananing sarining gumi dan manah”
dalam bahasa bali yang artinya segala amerta
dari bumi dan dari pikiran. Selain itu juga ditanami tanaman yang berbau harum
seperti pudak, cempaka, sandat, mawar,
kenanga, dapdap, siulan dan tanaman keperluan upakara lainnya.
Di
areal “natah” sebaiknya tidak
ditanami tanaman yang berbuku-buku seperti kelapa, tebu dan sejenisnya, karena
diyakini dapat menyebabkan terputus-putusnya kehidupan dan rejeki. Demikian
pula kurang baik kalau ditanami beringin yang akarnya sampai masuk ke dalam
tanah, karena dapat menjadi tempat hunian Banaspati
Raja yang kurang baik bagi penghuninya. Akan menjadi lebih baik kalau
ditanami tanaman-tanaman berbagai jenis bunga dan beberapa tanaman buah
terutama belimbing. Tanaman buah-buahan sebaiknya ditanam di areal “teba” (tegalan yang ada dibelakang
rumah) dekat dapur atau di bagian luar natah lainnya.
Tanaman
untuk keperluan dapur dan tanaman obat-obatan untuk keluarga (toga) biasanya
ditanam di dekat dapur. Pola penanaman semua jenis tanaman tersebut, sebaiknya
tetap memperhatikan nilai estetikanya selain tindakan budidaya yang dianggap
penting agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dalam pertamanan di Bali, baik
untuk pertamanan rumah, pura, perkantoran atau pertamanan untuk umum lainnya,
untuk mewujudkan Bali sebagai Pulau Taman diharapkan dan dianjurkan menggunakan
tanaman lokal Bali sebagai tanaman pertamanannya. Selain dapat dipakai sebagai
pemenuhan arsitektural, estetika, dan fungsional, juga untuk keperluan upakara
dan usada. Penempatan dari masing-masing tanaman disesuaikan dengan kegunaan
yang diharapkan dari tanaman tersebut. Kalau tanaman tersebut dapat diharapkan
berfungsi ganda, misalnya selain sebagai tanaman obat dapat pula dipakai
sebagai tanaman hias, maka baik ditanam di sekitar dapur atau di halaman rumah
lainnya. Seperti blatung gada/kaktus
misalnya, selain dipakai penolak bala di halaman luar rumah, disamping itu juga
diyakini dapat dipakai sebagai obat hepatitis, bisul maupun radang kulit, jadi
penempatannya dapat di halaman luar pintu rumah atau sekitar dapur.
Aspek
Teologis Tanaman Pekarangan Rumah
Seperti
diketahui bahwa sarana upakara di Bali (Hindu), terdiri dari air, daun, bunga,
buah dan api. Selain unsur api dan air, selebihnya adalah merupakan unsur
tanaman. Sloka pada Weda V.11.6 berbunyi : “Tvam
agne agniraso guhahitam Anuavidan sinriyanam vane-vane” artinya tanaman
merupakan ciptaan Tuhan untuk menunjang kebutuhan makhluk hidup termasuk
manusia (makan dan keperluan lainnya). Lebih jauh lontar Bhagawad Gita IX sloka
26 menyebutkan bunga sebagai unsur pokok dalam upakara selain buah-buahan, daun
dan air yang bunyinya : Pattram
Puspamtoyam Yo me bhakty prayacchati Tad aham bhaktyupahrtam Asn-mi
prayat-tmanah yang artinya kurang lebih adalah siapa pun dengan kesujudan
hati mempersembahkan pada Ku (Tuhan) daun, bunga, buah-buahan dan air,
persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, aku
terima. Unsur-unsur persembahan itu dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi “banten”
atua sesaji (sesajen). Lontar Kunti Sraya,
menyebutkan ada beberapa tanaman yang dapat dan tidak dapat dipakai sebagai
kelengkapan upakara.
Bagian
tanaman yang paling banyak dipakai sebagai kelengkapan dalam upakara adalah
bunga, kemudian buah dan daun. Bunga selain mempunyai makna keindahan, juga
umumnya berbau harum, sehingga dapat memberi pengaruh kesucian dan membantu pemusatan
pikiran menuju Tuhan. Penempatan atau penanaman tanaman disesuaikan dengan Pangider Bhuana (putaran bumi) terutama
dilihat dari segi warna bunga atau buahnya. Tanaman mendori putih, sebaiknya ditanam di Timur atau Purwa karena sebagai pelambang dari Sang Hyang Iswara. Tanaman jambe
atau pinang terdiri dari beberapa
jenis, seperti buah pinang sari, buah gangga, dan jenis buah pinang lainnya
akan lebih baik ditanam di bagian Selatan atau daksina, karena sebagai pelambang dari Sang Hyang Brahma. Tanaman siulan,
sebaiknya ditanam di bagian Barat atau pascima,
banyak dipakai dalam kwangen (sarana
sembahyang), dan sesajen lainnya.
Tanaman teleng biru, akan lebih baik kalau ditanam di bagian Utara atau uttara, digunakan dalam setiap sesaji.
Tanaman tunjung atau teratai yang terdiri dari berbagai macam warna, yang
dipakai di berbagai keperluan upakara dewa-dewi,
penempatannya di pekarangan mengikuti warnanya yaitu biru di uttara (utara), putih di purwa (timur), merah di daksina (selatan) dan kuning di pascima (barat). Demikian pula halnya
dengan jenis tanam-tanaman lainnya, seperti kelapa merupakan unsur terpenting
dari berbagai jenis kelengkapan upakara seperti dalam upakara keagamaan Hindu
seperti Padudusan, pecaruan Rsi Gana,
labuh Gentuh dan pecaruan besar
lainnya. Kelapa gading di barat untuk
Dewa Mahadewa, Kelapa Bulan (warna
putih) di timur untuk Dewa Iswara. Kelapa Gadang (hijau) di utara untuk Dewa Wisnu. Kelapa Udang di selatan untuk Dewa
Brahma. Kelapa Sudamala (Wiswa
warna, campuran keempat warna yang telah dikemukakan) di tengah untuk Dewa
Siwa. Jenis kelapa yang lain dan juga digunakan dalam kelengkapan upakara
adalah kelapa Bojog, Rangda, Mulung, dan Julit. Penanamannya di luar “natah” dapat disekitar dapur, areal
pekarangan, tegalan.
Dengan
adanya persembahan dan sarana sesajen dalam upakara Dewa Yadnya, yaitu persembahan kepada Dewa Nawa Sanga (sembilan dewa) adalah : Dewa Wisnu di Utara dipersembahkan godem atau jawaras
(Sorgum vulgare Pers), Manggis (Garcinia mangosta L), Pangi (Pangium edule
Reinw) daun poh atau mangga (Mangifera indica). Kehadapan Dewa Brahma di
Selatan dipersembahkan : Jagung (Zea mays L), salak (Zalacca sdulis BL), pinang
(Areca atechu L), dan daun manggis. Dewa Iswara di Timur dipersembahkan :
Kemiri (Alereutes molucana Wild), cereme (Phyllanthus acidus Skeels), dan daun
durian (Durio zibethinus Mere). Dewa Mahdewa di Barat dipersembahkan : Kelapa
(Cocos nusifera L), jagung, dan daun duku (Lancium domesticum Jack). Dewa Siwa
di Tengah dipersembahkan : beras (Oriza sativa L), Jali (Coix Lacryma-jobi L),
dan nanas (Ananas comosus L).
Demikian
pula jenis bunga yang digunakan dalam persembahyangan disesuaikan dengan warna
yang dipilih sesuai dengan Asta Dala dan baunya harum. Beberapa jenis bunga
yang baik dipakai dalam persembahyangan masing-masing Dewa yang dipuja adalah
sebagai berikut : Dewa Wisnu adalah bunga kenanga atau teleng, Dewa Brahma
adalah bunga mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri, kembang kertas
merah, Dewa Iswara adalah bunga teratai putih, jepun atau kamboja petak
(putih), cempaka putih. Dewa Mahadewa adalah bunga teratai kuning, cempaka
kuning, kembang kuning atau alamanda. Itulah beberapa jenis bunga yang baik
dipakai kalau kita melakukan persembahyangan pada saat upacara suci umat Hindu.
Sangket Kubu,
Saniscara Kliwon Wuku Wariga pinggal 22
Nopember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar