Bahasa
Bali dan Perubahan Kurikulum 2013
Oleh
I
Nyoman Suka Ardiyasa S.Pd.B.M.Fil.H
Proses perubahan Kurikulum 2013 telah membawa suka dan duka
bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pada awalnya, rencana perubahan Kurikulum 2013 banyak
muncul wacana dukungan dari para akedemisi, budayawan, dan seluruh lapisan masyarakat dengan
harapan bahwa pengembangan kurikulum 2013 dapat menjadi jawaban untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan dunia. Di samping itu bahwa pengembangan kurikulum 2013 ditengarai
sudah melalui proses panjang dan ditelaah secara cermat sehingga pemerintah
mengambil inisiatif untuk disampaikan ke publik agar dapat bisa diberikan
masukan dan padangan-pandangan agar lebih sempurna. Dengan segala konsekuensinya, perubahan
kurikulum dianggap akan mampu meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang tertinggal.
Namun, di balik
dukungan juga tentu hujatan, kritikan
yang terjadi pada perubahan kurikulum tersebut, tentu yang tidak mendukung
adalah orang-orang yang merasa dirugikan dari adanya perubahan kurikulum
tersebut. Terlebih-lebih daerah yang memiliki bahasa daerah dalam muatan
lokalnya, kebanyakan dari mereka menolak perubahan kurikulum tersebut, hal dikarenakan mata pelajaran bahasa daerah
tidak muncul lagi dalam Kurikulum 2013
melainkan digabung dalam mata
pelajaran Seni Budaya dan Prakarya.
Kalau
disimak lebih jauh lagi, orientasi pengembangan Kurikulum 2013 adalah tercapainya
kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan,
disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan. Perubahan yang
paling berdasar adalah nantinya pendidikan akan berbasis science dan tidak berbasis hafalan lagi. Perubahan kurikulum juga berimbas pada
jam mata pelajaran yaitu mengalami pengurangan sehingga karena adanya
pengurangan jam mata pelajaran maka berimbas pada banyaknya mata pelajaran yang tidak muncul lagi dalam Kurikulum 2013.
Lebih detail lagi mengenai
perubahan jam mata pelajaran rencananya
terjadi pengurangan mata pelajaran sekolah akan terjadi di tingkat SD dan SMP. Untuk tingkat SMP yang semula mempunyai 12 mata pelajaran, pada
tahun 2013 hanya akan mempunyai 10 mata pelajaran. Yang termasuk dalam 10 mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya dan Muatan Lokal, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, dan Prakarya. Dari sisi jam
pelajaran, kurikulum baru ini akan menambah panjangnya jam pelajaran. Untuk SD
kelas 1 dari 26 jam per minggu menjadi 30 jam. Untuk kelas 2 SD dari 27 jam
menjadi 32 jam. Sedangkan untuk kelas 3 SD dari 28 jam menjadi 34 jam,
sementara kelas 4, 5, 6 SD dari 32 menjadi 36 jam per minggu.
Untuk SD, terjadi perubahan dari 10
mata pelajaran menjadi hanya enam. Keenam mata pelajaran itu adalah Matematika,
Bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, dan Kesenian, sedangkan IPA
dan IPS menjadi tematik di pelajaran-pelajaran lain (Bahan Uji
Publik Kurikulum 2013)
Di tingkat SMP,
pemberian pelajaran akan mempergunakan Tekonologi Informasi Komunikasi (TIK)
didalam kelas. Kebijakan ini memungkinkan pemakaian laptop didalam kelas oleh
siswa. Dengan harapan, wawasan siswa dapat semakin terbuka. Sementara ditingkat
SMA, siswa mendapatkan mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Dari
sistem pendidikan ini, per jurusan dijenjang pendidikan SMA tidak dilakukan.
Jumlah jam untuk siswa SMK hanya bertambah sekitar 2 jam per minggu. Khusus di
SMK, penyesuaian jenis keahlian akan disesuaikan dengan kebutuhan pasar atau tren
saat ini. Namun, seluruh
siswa SMK ditiap jurusan akan mendapatkan mata pelajaran umum.(Bahan Uji Publik
Kurikulum 2013)
Rencannya Kurikulum pendidikan baru ini akan diterapkan pada
tahun ajaran 2013/2014. Namun,
kurikulum ini akan mulai berlaku untuk kelas 1 dan 4 sekolah dasar, dan VII
SMP, baik negeri yang dikelola Kemendikbud maupun Kementerian Agama dan juga
sekolah swasta, sedangkan lainnya bertahap. Hal ini dikarenakan kelas yang
lebih tinggi sedang mempersiapkan ujian nasional. Harapannya, tiga tahun akan
datang semua tingkatan sudah menggunakan sistem ini.
Perubahan kurikulum dari
KTSP ke Kurikulum 2013 di sebabkan karenanya banyakanya kelemahan-kelemahan
yang dianggap perlu diperbaiki dalam Kurikulum KTSP, adapun
permasalahan-permasalahan yang sudah diinventarisasi adalah sebagai berikut :
Permasalahan pendidikan kurikulum KTSP
1.
Dalam konten Kurikulum KTSP pendidikan masih
terlalu padat yang ditunjukan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi
yang keluasan dan kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak.
2.
Kurikulum belum sepenuhnya berbasis
kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
3.
Kompetensi belum menggambarkan secara
holistik domain sikap, keterampilan dan pengetahuan.
4.
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai
dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembeljaran aktif, keseimangan soft skils
dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi dalam kurikulum.
5.
Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap
perubahan sosial yang terjad pada tingkat lokal, nasional maupun global.
6.
Standar proses pembelajaran belum
menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang
penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat
pada guru.
7.
Standar penilaian belum mengarahkan pada
penilaian berbasis kompetensi (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) dan belum
tegas menuntut adanya remidiasi secara berkala.
8.
Dengan KTSP memerlukan kurikulum yang lebih
rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir (Bahan Uji Publik
Kurikulum 2013)
Di samping itu, jika dilihat kondisi pendidikan
sekarang dari berbagai kompetensi,
misalnya,
dari kompetensi lulusan dalam proses pendidikan belum sepenuhnya menekankan
pendidikan karater sehingga belum menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan
kerja. Bila disimak dari materi pembelajaraanya, belum relevannya dengan kompetensi
yang dibutuhkan, belum lagi beban belajar yang terlalu berat, luas dan kurang
mendalam sehingga hal ini berimplikasi pada kualitas pendidikan. Dalam proses pembelajarannya
juga masih berpusat pada guru (teacher-centered learning),
sifat pembelajaran masih beorientasi pada buku teks. Dari aspek penilaian
kondisi sekarang hanya menekankan pada aspek kognitif saja di mana hanya menerapkan tesa sebagai cara
penilaian yang dominan. Dalam hal pengelolaan kurikulum, KTSP yang memiliki
satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalam pengelolaan kurikulum, masih
terdapat kecendrungan satuan pendidikan kurikulum tanpa mempertimbangkan
kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah, disi
lain pemerintah hanya menyiapkan sampai standar isi mata pelajaran sajaSejak
ditetapkannya Perda No 3 tahun 1992 tentang Bahasa, Aksara, Sastra Bali oleh
pemerintah Provinsi Bali maka pelajaran Bahasa Bali menjadi mata pelajaran
wajib di Bali yang tergabung dalam jenis muatan lokal. Hal ini tertuang sangat
jelas pada ketentuan umum pasal 1 disebutkan bahwa poin pada (a) “Muatan
Lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan
lingkungan budaya serta kebutuhan Daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah itu”. Hal ini menandakan bahwa pelajaran bahasa
Bali wajib diajarkan kepada siswa yang bersekolah di Bali dengan menggunakan
pendekatan kehidupan di sekitarnya. Semenjak itulah bahasa Bali
menjadi mata pelajaran wajib, walaupun terjadi perubahan kurikulum berkali-kali
setelah itu sebut saja Kurikulum 1994, Kurikulum 1999, kurikulum KBK dan yang
terakhir adalah Kurikulum KBK semuanya menuangkan muatan lokal (Bahasa Bali)
sebagai mata pelajaran wajib.
Namun, perubahan Kurikulum 2013 yang terbaru ini ada perubahan
konten kurikulum secara besar-besaran di mana muatan lokal yang semula berdiri sendiri
diintegrasikan dengan mata pelajaran seni budaya. Hal ini disebabkan karakter Kurikulum
2013 ini adalah minimalis (mata pelajaran yang dianggap sejenis diintegrasikan).
Tentu hal ini berimbas pada pelajaran bahasa Bali (Muatan Lokal) digabung
dengan seni budaya. Bahkan porsi untuk seni budaya yang di dalammnya terdapat Bahasa Bali, Seni Tari, dan lain-lain mendapat alokasi yang sangat sedikit sebut
saja misalnya pada tinggkat SMA hanya mendapatkan 2 jam mata pelajaran
sedangkan ditingkat SMP 3 jam mata pelajaran, dan SD 4 jam mata pelajaran. Padahal
kalau disimak keberadaan bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali sangatlah
erat dari kehidupan beragama, sosial masyarakat, serta pentingnya pendidikan
karakter dalam Bahasa Bali tersebut. Bahasa Bali mengenal yang namanya sor
singgih (level ucapan) bahasa Bali
ini menandakan bahwa bahasa sudah mengandung nilai-nilai karakter. Kalau ini
digabung akan berimbas kurang maksimalnya pengajaran Bahasa Bali di sekolah pada setiap
jenjang karena dalam satu mata pelajaran terdapat banyak sub yang harus
dipelajari. Adapun akibat dari digabungnya bahasa Bali adalah sebagai berikut :
a.
Pemahaman budaya lokal akan menipis, disatu sisi
karakter bangsa di mulai dari budaya lokal.
b. Kurang
maksimalnya pelestarian bahasa daerah khususnya bahasa Bali sehingga kepunahan
bahasa Bali dirasa akan semakin cepat.
c. Bahasa
daerah adalah media pengungkapan kebudayaan dan agama Hindu di Bali maka secara
tidak langsung wajib dilestarikan.
d. Terancam hilangnya kekayaan rohani
bangsa Indonesia yang tertulis pada kebudayaan lontar, karena generasi muda
tidak maksimal diberikan pelajaran bahasa Bali.
e. Menipisnya
sikap generasi muda Bali yang sudah setia belajar bahasa Bali dari berbagai
institusi di Bali bahkan di Indonesia
f. Terancam hilangnya simbol-simbol
budaya yang sangat penting yang hanya terekam dalam Aksara, Bahasa, dan Sastra
Bali
Di samping itu dengan penggabungan Bahasa
Bali ke dalam seni budaya akan berimplikasi kepada
guru-guru Bahasa
Bali yang akan atau sudah mengajar Bahasa Bali. Salah satu kewajiban guru
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru adalah setiap guru wajib mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Pelaksanaan UKG didasarkan pada bidang
kehalian yang diajarnya, kalau Bahasa Bali berarti mengikuti UKG Bahasa Bali,
namun kenyataannya setelah ada perubahan kurikulum, UKG untuk guru Bahasa Bali tidak muncul dan guru-guru Bahasa Bali yang akan mengikuti Uji Kompetensi
Guru Bhasa
Bali diarahkan ke Uji Kompetensi Guru Seni Budaya. Hal ini tentu tidak sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan dari pelaksanaan UKG tersebut yang memiliki
tujuan sebagai;
(a) Pemetaan
penguasaan kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan profesional) sebagai dasar
pertimbangan pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam
bentuk kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan,
(b) Sebagai entry point penilaian kinerja guru dan
sebagai alat kontrol pelaksanaan penilaian kinerja guru. Selain tidak sesuai
dengan tujuan utama dari pelaksanaan UKG, mengarahkan guru bahasa Bali untuk mengerjakan UKG seni budaya merupakan suatu bentuk pelecehan dan pembodohan
terhadap profesi guru bahasa Bali.
Dalam kenyataannya permasalahan UKG
untuk bahasa Daerah hanya dialami oleh Bahasa Bali saja, bahasa daerah yang
lain seperti Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa pelaksanaan UKG tetap dilaksanakan
seperti dahulu sesuai dengan kurikulum terdahulu. Sangket Kubu, 24 April 2013
Bersambung,