TEKS GEGURITAN TAMTAM DALAM KAJIAN FILSAFAT PARENNIAL
Oleh
I Nyoman Suka Ardiyasa
Karyasiswa S2 Pendidikan Bahasa Bali
Filsafat perennial harus dimulai dengan kesadaran
mengosongkan diri dari prasangka-prasangka, sehingga kita siap membuka diri
untuk menghayati kebenaran-kebenaran baru secara epistemologis, dari mana pun
datangnya. Dalam istilah G
aguritan Tamtam, hanya dengan menjadi kosong seseorang
mampu mengisi kaguman sediri tanpa batas. Dengan mengosongkan diri maka kekaguman sebagai awal munculnya
epistemologi akan bemakna secara filosofi untuk merangkai
butir-butir pengetahuan agama dan spiritualitas. Tamtam memulai pernyataan dan pertanyaannya, setelah berhadapan
dengan raja Mesir beserta putrinya, Dewi
Adnya Swari:
Titiang janma sunantara,
Nista lacur manumadi,
Malarapan suka legawa,
Catur bekel titiang pasti,
Suka duka lara pati,
Nika wantah titiang tikul,
titiang mewasta I Tamtam,
Nyadia titiang tangkil mangkin,
Ring sang Ayu,
Sane telas tunas titiang.
(Gaguritan tam tam, pupuh sinom,19)
Artinya:
Saya adalah seorang pengembara,
Rendah dan miskin saya menjelma,
Saya terima dengan senang hati,
Empat yang menjadi bekal saya,
Suka, duka, penderitaan, dan kematian,
Itulah yang selalu mengikuti saya,
Nama saya I Tamtam,
Kedatangan saya menghadap sekarang,
Kehadapan Dewa Ayu,
Yang habis yang
saya minta
Dari sudut pandang hermeneutik, kata telas (habis)
bisa dimaknai sebagai “kosong” Demikian pula kata “sunantara” tidak harus
diterjemahkan hanya sebagai “wilayah seberang”
atau “pengembara” istilah
sunantara bisa diurai berasal dari kata “surya” dan “antara” yang kedua-duanya
berarti “kosong” mistik kejawen menyebut “sunantara” sebagai “alam sunya ruri”
atau alam kosong tanpa tepi, yaitu alam yang ingin dicapai Kaum mistik ketika mengadakan
semadi (Endraswara, 2003:24). Dalam keadaan kosong maka secara epismologis
perbedaan-perbedaan antara tinggi dan rendah,
kaya, dan miskin, suka dan
duka menjadi lebur dan kehilangan makna dualitasnya. Dia menjadi non-dualitas,
menjadi tunggal, menjadi advaita. Dalam persepsi non-dualitas: “suka, duka,
penderitaan, dan kematian” yang oleh Tam Tam dikatakan selalu mengikuti
dirinya, tidak lagi menjadi beban kehidupan yang menakutkan, malahan dapat
diterima “dengan senang hati”.
Dalam teks (Pupuh Sinom, 19) seperti kutipan, Tam Tam telah mengatasi
segala bentuk dualitas. Dia telah mampu memandang kehidupan sebagai satu
kesatuan makna yang esensial. Dia tidak lagi terguncang oleh hal-hal yang
dalam wawasan emperik seorang awam dianggap sebagai
”luar biasa”.
Dia juga tidak meremehkan
hal-hal kecil yang sering dianggap sebagai “biasa”. Hadi (1994:14) mengatakan
bahwa dalam mengungkapkan hal-hal biasa merupakan pekerjaan yang paling
sulit “Didalam kasanah kehidupan biasa dan
keseharianlah pertanyaan-pertanyaan filosofis muncul dan terus hadir”.
Tam Tam datang untuk menanyakan hal yang paling biasa, paling
sederhana, dan paling keseharian kepada Dewi Adnya Swari, yaitu tentang
“kosong” Apa makna kosong? Apa isi kosong? Di mana mencari kosong?
Dalam keadaan bagaimana
manusia bisa disebut kosong? Pertanyaan ini bisa dibuat lebih panjang dan lebih
luas lagi, sepanjang dan luas pengetahuan masing-masing penanya.
Berdasarkan uraian “analisis Geguritan Tam Tam” dan “analisis
Epistemologis perennial
Hindu-Islam” diatas, dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang ada dibalik teks
geguritan Tam Tam adalah pencarian “kosong”. Kosong dalam geguritan Tam tam
digambarkan sebagai :’ yang abadi tak pernah berubah / maha besar memenuhi
semesta /ada tetapi tiada/ paling besar dan paling kecil/ kosong tetapi berisi/
habis tetapi tersisa/memenuhi semesta alam tetapi cukup di tempat yang kecil/
seperti angan –angan //”. Sementara Endraswara (2003:24) menyebut alam kosong sebagai” alam sunya
ruri” yang juga dicari kaum mistik ketika melakukan semadinya. Dari sudut
pandang hermeneutik: itulah Tuhan, Yang Maha Ada, Allah atau Brahman
jadi, pencarian “kosong” dalam geguritan Tam Tam bermakna usaha mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Secara epistemologis perennial makna “kosong” dapat
dikaitkan dengan ajaran “sunya” dan “moksa” dalam ajaran agama Hindu, serta
dengan ajaran “fana” dan “ma’rifah” dalam Islam . Pembahasan kaitan makna
kosong dengan pandangan filsafat epistemologis perennial Hindu-Islam akan
meliput:
·
Epistemologis
perennial makna kosong dari sudut pandang agama Hindu
·
Epistemologis
perennial makna kosong dari sudut pandang agama Islam.
·
Persamaan
makna kosong dalam Hindu dan Islam.
Dalam tradisi spiritualitas Hindu di Bali, Tuhan
disebut pula dengan julukan Sanghyang Embang, atau dalam istilah filosofis :
Ada Yang Kosong. Dalam Ganapati Tattwa (tim penyusun,1999:10) disebutkan, pada
awal ciptaan tidak ada apa-apa. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada
ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Maha Esa dalam keadaan
nirguna, sukha Acintya, atau berkeadaan maha bahagia yang tak terpikirkan.
Penciptaan juga berawal dari kekosongan. Dalam dalam
dua belas tahap atau jenjang penciptaan menurut Hindu di Bali yang disebut “Tattwa Rwawelas” (Sura dkk, 1991:53),
dikatakan paling awal
terjadi dalam ciptaan itu adalah esensi yang teramat halus dan gaib, yang dapat
kita samakan dengan kekosongan : “duk tan
hana paran –paran, anruang-anruwung…” (ketika tidak ada apa-apa, semua
kosong).
Siwa (Tuhan Yang Maha Esa) merupakan asal mula alam
semesta, berkeadaan sunya (sepi), absolut, dan merupakan ada yang mutlak. Dari
Siwa muculah Brahma (Sang Purusa) yang merupakan benih kehidupan. Dari Sang
Purusa Muncul Wisnu (Awkya), yaitu
azas material atau kebendaan tanpa jiwa itulah Pradana (prakerti). Awyakta kemudian muncul berturut-turut budhi (azas intelegensi),
ahamkara (ego), Pancatanmtra (lima unsur: sabda, sparsa, rupa, rasa, dan
gandha), dan manah, yaitu azas akal dan pikiran.Dari manah muncul akasa yang
menjadi benih suara. Dari akasa muncul bayu bersifat sabda dan spara
(rabaan). Dari bayu muncul agni yang
mengandung sifat-sifat sabda, rupa,
dan rasa. Dari Agni muncul apakah yang mengandung sifat-sifat sabda, sparsa,
rupa, dan rasa. Dari apah timbul prthiwi yang mengandung sifat-sifat sabda, sparsa, rupa, rasa, dan
gandha.