Bali Mamuja

berisikan catatan tentang dinamika budaya Bali

Jumat, 21 November 2014

Teologi Tanaman Bali



ASPEK TEOLOGIS TANAMAN PEKARANGAN RUMAH
disusun oleh
 I Nyoman Suka Ardiyasa, M.Fil.H

Konsep Natah, Tebe dan Telajakan
          Sudah sejak dahulu kala, keindahan alam Bali dipuja dan dipuji oleh para leluhur, Keindahan alam yang ada di pulau Bali tidak terlepas pada penduduknya yang memiliki kesadaran dan kreativitas tinggi untuk menjadikan potensi alam yang dimilikinya menjadi sebuah tempat yang memanjakan para pengunjung yang datang ke Bali. Banyak hal yang membuat pulau Bali menjadi unik, baik dari keindahan alam, tradisi hingga pada budayanya yang khas antara akulturasi agama Hindu dan budaya Bali. Dalam aspek pelestarian lingkungan masyarakat Bali meyakini bahwa berbagai tumbuhan perlu dilestarikan karena hal ini berkaitan dengan proses pelaksanaan upacara agama yng diaktualisasikan melalui pelaksanaan Tumpek Wariga. Dalam tradisi Bali juga mengenal dengan adanya Tēbe (telajakan pekarangan yang ada dibelakang rumah), Natah (taman yang ada di lingkungan rumah) serta telajakan atau sebagian jalan raya atau jalan kampung yang ada di depan atau samping pekarangan rumah, termasuk jalannya sendiri, got beserta senderan dan lain-lainnya. Dalam semua aspek tersebut pengmbagian istilah istilah tersebut sudah diatur berdasarkan aturan aturan yang ada yang mengedepankan sistem fungsional, estetika.
          Konsep natah (taman yang ada dilingkungan rumah) tradisional Bali mempunyai filosofi yang sangat tinggi, sehingga berbagai tanaman yang ditanam dalam Telajakan atau Natah memiliki berbagai filosofi tersendiri. Misalnya tanaman yang ditanam di pintu masuk rumah, di sebelah kanan baru masuk pekarangan sebaiknya ditanami tanaman (Pachycereus Sp), sedangkan di sebelah kiri ditanami tanaman dapdap wong (Erytherina variegata) yang diyakini dapat melawan maksud-maksud tidak baik. Setelah memasuki pintu masuk, di sebelahnya ditanami bergu/ weregu (Rhapis exelsa) yang diyakini mampu menghancurkan kekuatan negatif yang lebih kuat, sedangkan dekat dapur ditanami kelor (Moringaoleivera L) sebagai penangkal kejahatan terakhir di pekarangan rumah. Di pintu masuk Utama Mandala (merajan, sanggah) ditanami jepun petak (putih) dan sudamala (Plumeria rubra), yang mempunyai makna filosofi membersihkan dan memarisudha semua orang yang akan memasuki areal suci tersebut, serta kayu tulak dan kayu sisih (Phillantus boxipolius Muell Arg) yang diyakini mampu menolak dan menyisihkan segala pikiran yang baik dan yang buruk. Hanya orang yang berpikiran baik saja yang boleh masuk ke halaman Utama Mandala. Di bagian dalam Utama Mandala ditanami salah satu di antaranya adalah nagasari (Mesua ferica L) adalah tanaman yang auranya paling putih bersih dan dingin, sehingga dianggap sebagai tanaman kesayangan para Dewi. Nagasari berarti Naga Anantaboga dan Basukih yang mengikat “sahananing sarining gumi dan manah” dalam bahasa bali yang artinya segala amerta dari bumi dan dari pikiran. Selain itu juga ditanami tanaman yang berbau harum seperti pudak, cempaka, sandat, mawar, kenanga, dapdap, siulan dan tanaman keperluan upakara lainnya.
          Di areal “natah” sebaiknya tidak ditanami tanaman yang berbuku-buku seperti kelapa, tebu dan sejenisnya, karena diyakini dapat menyebabkan terputus-putusnya kehidupan dan rejeki. Demikian pula kurang baik kalau ditanami beringin yang akarnya sampai masuk ke dalam tanah, karena dapat menjadi tempat hunian Banaspati Raja yang kurang baik bagi penghuninya. Akan menjadi lebih baik kalau ditanami tanaman-tanaman berbagai jenis bunga dan beberapa tanaman buah terutama belimbing. Tanaman buah-buahan sebaiknya ditanam di areal “teba” (tegalan yang ada dibelakang rumah) dekat dapur atau di bagian luar natah lainnya.
          Tanaman untuk keperluan dapur dan tanaman obat-obatan untuk keluarga (toga) biasanya ditanam di dekat dapur. Pola penanaman semua jenis tanaman tersebut, sebaiknya tetap memperhatikan nilai estetikanya selain tindakan budidaya yang dianggap penting agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dalam pertamanan di Bali, baik untuk pertamanan rumah, pura, perkantoran atau pertamanan untuk umum lainnya, untuk mewujudkan Bali sebagai Pulau Taman diharapkan dan dianjurkan menggunakan tanaman lokal Bali sebagai tanaman pertamanannya. Selain dapat dipakai sebagai pemenuhan arsitektural, estetika, dan fungsional, juga untuk keperluan upakara dan usada. Penempatan dari masing-masing tanaman disesuaikan dengan kegunaan yang diharapkan dari tanaman tersebut. Kalau tanaman tersebut dapat diharapkan berfungsi ganda, misalnya selain sebagai tanaman obat dapat pula dipakai sebagai tanaman hias, maka baik ditanam di sekitar dapur atau di halaman rumah lainnya. Seperti blatung gada/kaktus misalnya, selain dipakai penolak bala di halaman luar rumah, disamping itu juga diyakini dapat dipakai sebagai obat hepatitis, bisul maupun radang kulit, jadi penempatannya dapat di halaman luar pintu rumah atau sekitar dapur.

Aspek Teologis Tanaman Pekarangan Rumah

Seperti diketahui bahwa sarana upakara di Bali (Hindu), terdiri dari air, daun, bunga, buah dan api. Selain unsur api dan air, selebihnya adalah merupakan unsur tanaman. Sloka pada Weda V.11.6 berbunyi : “Tvam agne agniraso guhahitam Anuavidan sinriyanam vane-vane” artinya tanaman merupakan ciptaan Tuhan untuk menunjang kebutuhan makhluk hidup termasuk manusia (makan dan keperluan lainnya). Lebih jauh lontar Bhagawad Gita IX sloka 26 menyebutkan bunga sebagai unsur pokok dalam upakara selain buah-buahan, daun dan air yang bunyinya : Pattram Puspamtoyam Yo me bhakty prayacchati Tad aham bhaktyupahrtam Asn-mi prayat-tmanah yang artinya kurang lebih adalah siapa pun dengan kesujudan hati mempersembahkan pada Ku (Tuhan) daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, aku terima. Unsur-unsur persembahan itu dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi “banten” atua sesaji (sesajen). Lontar Kunti Sraya, menyebutkan ada beberapa tanaman yang dapat dan tidak dapat dipakai sebagai kelengkapan upakara.

Bagian tanaman yang paling banyak dipakai sebagai kelengkapan dalam upakara adalah bunga, kemudian buah dan daun. Bunga selain mempunyai makna keindahan, juga umumnya berbau harum, sehingga dapat memberi pengaruh kesucian dan membantu pemusatan pikiran menuju Tuhan. Penempatan atau penanaman tanaman disesuaikan dengan Pangider Bhuana (putaran bumi) terutama dilihat dari segi warna bunga atau buahnya. Tanaman mendori putih, sebaiknya ditanam di Timur atau Purwa karena sebagai pelambang dari Sang Hyang Iswara. Tanaman jambe atau pinang terdiri dari beberapa jenis, seperti buah pinang sari, buah gangga, dan jenis buah pinang lainnya akan lebih baik ditanam di bagian Selatan atau daksina, karena sebagai pelambang dari Sang Hyang Brahma. Tanaman siulan, sebaiknya ditanam di bagian Barat atau pascima, banyak dipakai dalam kwangen (sarana sembahyang), dan sesajen lainnya. Tanaman teleng biru, akan lebih baik kalau ditanam di bagian Utara atau uttara, digunakan dalam setiap sesaji. Tanaman tunjung atau teratai yang terdiri dari berbagai macam warna, yang dipakai di berbagai keperluan upakara dewa-dewi, penempatannya di pekarangan mengikuti warnanya yaitu biru di uttara (utara), putih di purwa (timur), merah di daksina (selatan) dan kuning di pascima (barat). Demikian pula halnya dengan jenis tanam-tanaman lainnya, seperti kelapa merupakan unsur terpenting dari berbagai jenis kelengkapan upakara seperti dalam upakara keagamaan Hindu seperti Padudusan, pecaruan Rsi Gana, labuh Gentuh dan pecaruan besar lainnya. Kelapa gading di barat untuk Dewa Mahadewa, Kelapa Bulan (warna putih) di timur untuk Dewa Iswara. Kelapa Gadang (hijau) di utara untuk Dewa Wisnu. Kelapa Udang di selatan untuk Dewa Brahma. Kelapa Sudamala (Wiswa warna, campuran keempat warna yang telah dikemukakan) di tengah untuk Dewa Siwa. Jenis kelapa yang lain dan juga digunakan dalam kelengkapan upakara adalah kelapa Bojog, Rangda, Mulung, dan Julit. Penanamannya di luar “natah” dapat disekitar dapur, areal pekarangan, tegalan.
          Dengan adanya persembahan dan sarana sesajen dalam upakara Dewa Yadnya, yaitu persembahan kepada Dewa Nawa Sanga (sembilan dewa) adalah : Dewa Wisnu di Utara dipersembahkan godem atau jawaras (Sorgum vulgare Pers), Manggis (Garcinia mangosta L), Pangi (Pangium edule Reinw) daun poh atau mangga (Mangifera indica). Kehadapan Dewa Brahma di Selatan dipersembahkan : Jagung (Zea mays L), salak (Zalacca sdulis BL), pinang (Areca atechu L), dan daun manggis. Dewa Iswara di Timur dipersembahkan : Kemiri (Alereutes molucana Wild), cereme (Phyllanthus acidus Skeels), dan daun durian (Durio zibethinus Mere). Dewa Mahdewa di Barat dipersembahkan : Kelapa (Cocos nusifera L), jagung, dan daun duku (Lancium domesticum Jack). Dewa Siwa di Tengah dipersembahkan : beras (Oriza sativa L), Jali (Coix Lacryma-jobi L), dan nanas (Ananas comosus L).
          Demikian pula jenis bunga yang digunakan dalam persembahyangan disesuaikan dengan warna yang dipilih sesuai dengan Asta Dala dan baunya harum. Beberapa jenis bunga yang baik dipakai dalam persembahyangan masing-masing Dewa yang dipuja adalah sebagai berikut : Dewa Wisnu adalah bunga kenanga atau teleng, Dewa Brahma adalah bunga mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri, kembang kertas merah, Dewa Iswara adalah bunga teratai putih, jepun atau kamboja petak (putih), cempaka putih. Dewa Mahadewa adalah bunga teratai kuning, cempaka kuning, kembang kuning atau alamanda. Itulah beberapa jenis bunga yang baik dipakai kalau kita melakukan persembahyangan pada saat upacara suci umat Hindu.

Sangket Kubu,  
Saniscara Kliwon Wuku Wariga pinggal 22 Nopember 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text